WARIA DALAM
PERSPEKTIF KESEJAHTERAAN SOSIAL
(Studi Kasus:
Fenomena Waria di Semarang)
MAKALAH
Mata Kuliah: Kebijakan Sosial
Kelompok I
Dosen Pengampu: Dr. Drs. Teguh
Yuwono, M.Pol.Admin
JURUSAN
ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
2015
KELOMPOK I:
1.
Muhammad Salim (14010113120028) : Ketua
2.
Ivana Andi Sabani (14010113120023) : Sekretaris
3.
Novita Trisniawan (14010113120011) :
Anggota
4.
Deviria Arofatul K. (14010113120017) :
Anggota
5.
S. Piter Von Dasa (14010113120009) : Anggota
6.
M. Toha Putra (14010113120036) : Anggota
7.
Gholal Pusthika W. (14010113120040) : Anggota
8.
Ahmad Muhammad F. (14010113120030) : Anggota
9.
Reviansyah Ramadhan (14010113120002) : Anggota
10.
Galang Adit Hutsa D. (14010113120024) : Anggota
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas rahmat dan karuniaNya
kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Makalah Penelitian yang berjudul “Waria dalam Perspektif
Kesejahteraan Sosial (Studi Kasus pada Fenomena Waria di Semarang)”.
Kami
sadar
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal itu dikarenakan
keterbatasan kemampuan dan pengetahuan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan umumnya bagi kita semua.
Akhir kata, kami memoohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini
terdapat kesalahan.
Semarang, April
2015
Tim Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Gender bukanlah suatu yang
manusia dapatkan semenjak lahir dan bukan juga sesuatu yang dimilikinya,
melainkan sesuatu yang kita lakukan (West, Candace and
Zhimmerman, Don. 1987. “Doing Gender”. Gender
and Society), sesuatu yang ditampilkan
(Judith Butler. 1990. Gender Trouble:
Feminism and the subervision of identify. New York And London: Rountledge
). Gender
melekat pada dan memengaruhi penampilan setiap orang sehingga nantinya akan
muncul semacam sikap otoriter pada penampilan persona-persona tersebut. Dewasa
ini, seks dan gender dianggap menyatu melalui pandangan masyarakat yang mencoba
untuk memadu-padankan cara bertindak dengan kodrat biologis.
Kelamin (seks) merupakan
penggolongan biologis yang didasarkan pada sifat reprofuksi potensial. Kelamin
berlainan dengan gender yang merupakan elaborasi sosial dari sifat biologis.
Gender membangun sifat biologis dari yang awalnya bersifat alami, kemudian
melebih-lebihkannya, dan pada akhirnya menempatkannya pada posisi yang sama
sekali tidak relevan. Misalnya saja, tidak ada alasan biologis yang dapat
menjelaskan mengapa perempuan harus berlenggok dan para lelaki harus membusung
atau, mengapa perempuan haus memakai kutek di kakinya, sedangkan laki-laki
tidak. Walau demikian, batas bahwa kelamin bersifat biologis dan gender
bersifat sosial terlalu samar. Pembedaan kelamin dan gender merupakan hal yang
paling sulit untuk diterangkan, mengingat tidak ada kriteria obyektif untuk
menggolongkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, meskipun kelamin sudah
jelas didefinisikan sebagai kombinasi unsur-unsur anatomis, endokrin, dan
kromosom. Seleksi pada kriteria tersebut erat hubungannya dengan kepercayaan
kultural tentang bagaimana mengatakan seseorang dengan sebutan “laki-laki” atau
“perempuan”.
Menamai seseorang dengan label laki-laki
atau perempuan tidak lebih merupakan keputusan yang amat bersifat sosial.
Manusia dapat saja menggunakan bantuan pengetahuan ilmiah untuk membuatnya
masuk akal, namun hanya kepercayaan genderlah yang dapat mendefinisikan jenis
kelamin individu yang bersangkutan. Waria (wanita pria) merupakan fenomena
nyata yang sudah lama mewarnai kehidupan sosial masyarakat. Dalam konteks di
Indonesia, keberadaan waria adalah hal tabu yang secara umum dipandang negatif.
Tidak adanya hukum dan/atau peraturan perundangan yang mengatur secara jelas
tentang waria menyebabkan nihilnya perlindungan hukum terhadap waria.
Diskriminasi sosial terhadap waria adalah masalah mendasar yang dihadapi para
waria, meskipun notabene mereka termasuk warga negara dan penduduk suatu Negara
yang seharusnya mendapat hak dan perlakuan yang sama. Realita kehidupan waria
menjadi fokus penelitian yang akan dikaji mendalam oleh penulis, dan pada
akhirnya solusi permasalahan waria, dalam hal ini di Semarang , menjadi titik
tuju penelitian yang dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah tersebut, penulis mengangkat rumusan maslah sebagai
berikut:
a.
Apa yang melatarbelakangi seseorang
menjadi waria?
b.
Bagaimana pandangan masyarakat terhadap
keberadaan waria?
c.
Bagaimana keterkaitan waria dengan
kesejahteraan sosial?
d.
Bagaimana realita kehidupan waria di
Semarang?
e.
Bagaimana solusi kebijakan atas fenomena
waria di Semarang?
1.3 Tujuan Penelitian
- Mengetahui latar belakang seseorang menjadi waria.
- Mengetahui pandangan masyarakat terhadap keberadaan waria.
- Mengetahui keterkaitan waria dengan kesejahteraan sosial.
- Mengetahui realita kehidupan waria di Semarang.
- Mengetahui solusi kebijakan atas fenomena waria di Semarang.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
2.1
Tentang Waria
Adapun, jika dipandang dari sudut
pandang sosiologi, penyebab/faktor mengapa laki-laki dapat dikatakan waria,
dapat diterapkan dalam Teori Perilaku Menyimpang, yaitu :
A.
Teori Differential Association
(pergaulan berbeda)
Teori ini diciptakan oleh Edwin H.
Sutherland yang berpendapat bahwa penyimpangan bersumber pada pergaulan
berbeda. Penyimpangan dipelajari melalui proses alih budaya. hal ini cocok
dengan salah satu alasan mengapa seorang laki-laki menjadi waria. Contohnya,
dari berita yang saya baca menyebutkan bahwa “Kondisi eksternal dari para pelaku penyimpangan cenderung memberikan
kesempatam mereka untuk melakukan kegiatan tersebut. Hal ini terbukti dari
Kisah Agus bermula saat dirinya bercita-cita membuka usaha tata rias pengantin.
Pada 2010 lalu, Agus izin kepada orangtuanya untuk menimba ilmu dengan
mengikuti kursus tata rias di Kota Solo. Sesampai di Solo, Agus dikenalkan
dengan beberapa teman yang ahli di bidang tata rias. Namun karena pengaruh
lingkungan, Agus kemudian mengubah penampilan seperti wanita. Hingga
label waria pun disandangnya. Agus berdalih, pendapatan dari waria dapat
digunakan untuk menambah modal usahanya. Profesi yang Agus jalani saat ini
ternyata tidak diketahui keluarganya. Keluarga mengira bahwa Agus sedang
belajar dan telah membuka usaa tata rias di Solo” (www.solopos.com: Saat
Agus Berubah Jadi Angel)
B.
Teori Labeling
Teori ini disampaikan oleh Edwin M.
Lemerd yang berpendapat bahwa seseorang yang telah melakukan penyimpangan pada
tahap primer (pertama) lalu oleh masyarakat sudah diberi cap sebagai
penyimpangan, maka orang tersebut terdorong untuk melakukan penyimpangan
skunder (tahap lanjut) dengan alasan “kepalang tanggung”. Contohnya, jika ada
seorang laki-laki yang lewat di hadapan warga sekitar, dan laki-laki tersebut
berusaha untuk tetap ramah dan sopan kepada warga sekitar dengan memberi ucapan
“permisi” ketika lewat di hadapan warga sekitar tersebut. Kebanyakan dari warga
sekitar tersebut banyak yang menggunjing dan memanggil laki-laki tersebut
dengan sebutan”BANCI” karena dilihat dari cara berjalannya, dan kebanyakan
teman yang dia miliki adalah wanita. Lama-lama laki-laki tersebut terus diberi
label/sebutan “BANCI” maka dalam pikirannya akan terbesit “daripada saya terus
dipanggil banci, sekalian saja saya menjadi banci.”
C.
Teori Fungsional
Teori
ini dipelopori oleh Emile Durkhem adalah bahwa kesadaran moral dari semua
masyarakat adalah faktor keturunan, perbedaan lingkungan fisik, dan lingkungan
sosial. Contoh : Laki-laki yang ayahnya seorang waria, dan tinggal di
lingkungan waria maka ia berpeluang besar untuk menjadi waria.
2.2
Kesejahteraan
Sosial
Kesejahteraan
sosial dalam arti yang sangat luas mencakup berbagai tindakan yang dilakukan
manusia untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik. Menurut Gertrude Wilson, kesejahteraan sosial
merupakan usaha yang terorganisir dari semua untuk semua. Menurut Walter Friedlander, kesejahteraan sosial
merupakan sistem yang terorganisir dari institusi dan pelayanan sosial, yang
dirancang untuk membantu individu ataupun kelompok agar dapat mencapai
standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan.
BAB
III
POTRET
DAN ANALISIS
1.1
Latar
Belakang Seseorang Menjadi Waria
Faktor-faktor
yang mempengaruhi:
· Terjebak
dalam raga yang salah
Banyak waria yang akhirnya
mengkambinghitamkan penepmpatan raga. Beberapa waria beralasan bahwa sebenarnya
mereka adalah perempuan tetapi dilahirkan dalam bentuk tubuh laki-laki. Para
waria pun kebanyakan mengaku bahwa naluri dalam dirinya murni (100 persen)
perempuan.
· Adanya
mutasi gen
Secara medis, ada hormon yang
menyebabkan pria berperilaku seperti wanita dan merasa lebih nyaman dengan
tingkah seperti itu. Mutasi gen ini akan menyebabkan kelainan gen pada pria
bersangkutan, misalnya model gen XXY, gen wanita (X) lebih dominan. Maka, pria
tersebut akan mengalami kelainan yang mencolok pada bagian tubuhnya. Misalnya,
tumbuh payudara seperti perempuan.
· Tuntutan
ekonomi
Tuntutan ekonomi boleh dikatakan
sebagai alasan paling kuat dan paling konkret yang menyebabkan seseorang
menjadi waria. Dalam kasus sperti ini, menjadi waria hanya bersifat
kepura-puraan demi mendapatkan uang. Namun, kepura-puraan ini pun bisa menjerat
waria ke dalam kebiasaan hingga akhirnya kebablasan.
· Terpengaruh
budaya barat
Di era globalisasi atau era pasar
bebas ini, manusia rentan terpengaruh oleh budaya-budaya luar yang mayoritas
tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Salah satunya adalah pilihan menjadi
waria. Di beberapa negara, pernikahan sejenis memang sudah dilegalkan oleh negara,
termasuk pilihan seseorang untuk menjadi waria. Bahkan, negara-negara tersebut
sering mengadakan kontes-kontes kecantikan yang pesertanya dari kalangan waria.
Hal inilah yang turut ditiru oleh masyrakat Indonesia. Mereka mengadopsi budaya
luar tanpa penyesuaian hingga akhirnya menimbulkan penyimpangan.
· Trauma
Faktor traumatis memang bisa menjadi
pemicu seorang pria memutuskan untuk menjadi waria. Boleh jadi, pria tersebut
pernah mendapatkan perlakuan tidak senonoh sehingga ia merasa nyaman dengan
keadaanya sebagai waria. Bisa pula karena ia sempat disakiti wanita sehingga
memutuskan untuk menyukai sesama jenis dengan jalan mengubah tampilan menjadi
waria.
· Pengaruh
lingkungan
Tidak dapat dipungkiri, lingkungan
merupakan faktor pendukung terbesar yang menentukan masa depan seseorang.
Termasuk menentukan waria atau tidaknya seorang pria. Pria yang sejak kecil
bergaul dengan wanita, cenderung tumbuh menjadi sosok seperti wanita. Contoh
lain, pria yang bekerja di salon cenderung memiliki sifat gemulai seperti
wanita karena yang mereka layani setiap hari adalah wanita.
· Dalam
agama Islam
Telah disebutkan bahwa salah satu
tanda-tanda kiamat atau akhir zaman adalah banyaknya pria yang berperilaku dan
berpenampilan layaknya wanita. Begitupun sebaliknya. Wanita berperilaku dan
berpenampilan layaknya pria. Melihat kondisi saat ini, tampaknya hari kiamat
semakin dekat seiring menjamurnya para waria. Begitu banyak alasan seseorang
memilih menjadi waria karena mutasi gen maupun profesi. Namun, alasan apapun
tidaklah bisa dijadikan pembenaran karena agama Islam terang-terangan melarang
seseorang menjadi waria. Apalagi jika pengingkaran kodrat itu disertai dengan
opeasi ganti kelamin atau melakukan suntik silikon untuk menumbuhkan payudara.
3.2
Pandangan Masyarakat terhadap Waria
Teori
Labeling yang disampaikan oleh Edwin M. Lemerd yang berpendapat bahwa seseorang
yang telah melakukan penyimpangan pada tahap primer (pertama) lalu oleh
masyarakat sudah diberi cap sebagai penyimpangan, maka orang tersebut terdorong
untuk melakukan penyimpangan skunder (tahap lanjut) dengan alasan “kepalang
tanggung”.
Masyarakat
sebagai sebuah kumpulan individu memiliki sejumlah norma dan nilai sosial di
dalamnya, yang tujuannya untuk menata keteraturan dalam masyarakat itu. Norma
dan nilai sosial itu diperoleh bukannya tanpa proses, melainkan melewati proses
pengintegrasian berbagai macam kepentingan dan perbedaan antar individu dengan
pedoman agama atau kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Ketika
nilai-nilai dan norma dalam masyarakat yang telah disepakati bersama itu
dilanggar, maka akan terjadi suatu kondisi yang tidak teratur dalam masyarakat
tersebut, dan hal ini akan menyebabkan adanya disintegrasi masyarakat.
Misalnya
kemunculan seorang waria yang merupakan sebuah fenomena sosial tersendiri bagi
masyarakat kita dimana sampai saat ini waria adalah salah satu kaum yang
terpinggirkan, bahkan menjadi kaum yang paling terpinggirkan. Banyak orang yang
memandang sebelah mata terhadap eksistensi waria, bahkan secara terang-terangan
mereka beranggapan negative, seperti anggapan bahwa waria adalah sampah
masyarakat, waria sebagai penyebar penyakit masyarakat, dan kesemuanya itu
seolah menyiratkan bahwa waria selama ini diperlakukan sebagai sebuah objek,
bukan subjek. Sehingga waroia sering mendapat perlakuan yang semena-mena,
dihina, dan dicaci.
Masyarakat,
dalam mereka memaknai waria tidak terlepas dari ruang-ruang yang dipakai oleh
waria itu untuk beraktivitas, khususnya dalam konteks ruang secara publik
dimana identitas seseorang terrepresentasikan melalui ruang publik tersebut,
sehingga masyarakat bisa mengetahui identitas seseorang dengan melihat
perilakunya dalam ruang publik. Selain ruang publik, ruang yang dipakai waria
untuk beraktivitas secara sosial adalah dalam keluarga. Kemunculan waria dalam
mayarakat, pastilah bermula dari keberadaannya dalam keluarga karena keluarga
adalah ruang pertama kali manusia hidup secara sosial dan tempat di mana
pertama kali seseorang mendapat pelajaran mengenai kepribadian lewat
proses-proses sosialiasasi.
Saat waria
memutuskan pilihan hidup untuk menjadi seorang waria sering kali ditentang oleh
pihak keluarga, meskipun itu bisa juga disebabkan karena dari keluarga itu
sendiri yang tidak menyadari ada anggota keluarganya yang sejak kecil telah melakukan
perilaku yang “tidak seperti biasanya”. Keluarga baru akan melakukan tindakan
ketika waria tersebut telah dewasa, ketika waria telah menemukan ruang dan
komunitas mereka sendiri di mana komunitas itu sudah terlepas dari tataran
keluarga bahkan setelah menjadi seorang PSK, Karena kebanyakan keberadaan waria
di jalan dan berkerja sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah para waria
yang memang tidak mendapat tempat dalam keluarganya. Keluarga yang semestinya
menjadi pelindung, menjadi tempat yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi
tiap individu akan berubah menjadi tempat yang menakutkan, saat seseorang
memutuskan menjadi waria dan keluarga menolaknya. Ketika fungsi keluarga
sebagai tempat menemukannya rasa aman dan nyaman sudah tidak berfungsi lagi,
maka waria akan menghadapi tekanan-tekanan sosial dalam masyarakat. Misalnya
tekanan sosial berupa:
1. Diskriminasi, terjadi ketika ada
perbedaan yang ditujukan kepada seseorang yang mengakibatkan orang tersebut
diperlakukan tidak adil, berdasarkan mereka tidak termasuk atau dianggap masuk
kelompok tertentu
2. Perlakuan yang Tidak Manusiawi,
misalnya diejek, dihina, diludahi, dipegang-pegang (pelecehan seksual), serta
pemerasan
3. Memberikan Stigma yang Buruk,
mengisolir dan memandang rendah terhadap kelompom tertentu
4. Upaya Penolakan, cemoohan dan
pengucilan yang dilakukan masyarakat kebanyakan kepada kelompok tertentu.
Tatanan
sosial dalam masyarakat di Indonesia saat ini masih menganggap bahwa waria
adalah sebuah “penyakit”, sebuah defiasi, dan sebuah ketidakwajaran sosial
sehingga mereka belum bisa diterima secara seutuhnya dalam masyarakat.
3.3
Keterkaitan
Waria dengan Kesejahteraan Sosial
Waria
merupakan kelompok marjinal yang menjadi sasaran kesejahteraan sosial. Menurut
Walter Friedlander, kesejahteraan sosial merupakan sistem yang
terorganisir dari institusi dan pelayanan sosial yang dirancang untuk membantu
individu ataupun kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan
yang lebih memuaskan. Berdasar teori tersebut, jika pelayanan sosial mampu menjangkau
kelompok marjinal, maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan sosial
tinggi, karena salah satu bagian dari kesejahteraan sosial yaitu pelayanan
sosial telah mampu menjangkau kelompok terbawah lapisan masyarakat.
3.4
Hasil Wawancara (terlampir)
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan
dapat disimpulkan bahwa masalah sosial yang dihadapi waria adalah para
pelanggan yang bersikap tidak baik, ancaman penyakit,tidak di terimanya mereka
di lingkungan oleh masyarakat dan masalah keluarga khususnya bagaimana
menjelaskan kepada mereka mengenai profesi mereka sebagai waria.Untuk tetap
survive para waria ini hanya mengandalkan menjadi waria,namun tak jarang dari
mereka juga memiliki penghasilan dari pekerjaan lain seperti merias dan membuka
salon. Perihal diadakannya razia dari pihak pemerintah para waria ini memiliki
banyak cara untuk mengatsinya, seperti dengan berlari hingga keparit-parit atau
sungai ada yang hanya diam merendahkan diri agar tidak ditahan. Para waria ini
memiliki harapan bahwa mereka ingin masyarakat tidak memandang mereka sebelah
mata, menerima mereka di dalam masyarakat sebagai waria karena mereka juga
tidak melakukan tindak kejahatan di masyarakat. Harapan untuk pemerintah adalah
pemerintah mambu membuka lapangan pekerjaan seluas luasnya, memberikah
pelatihan kepada waria agar menjadi waria yang berkualitas bukan waria yang
hanya menjajakan tubuhnya saja, mampu memberikan wadah untuk para waria agar
mereka menjadi resmi keberadaannya dan tidak harus bersusah payah melarikan
diri atau kucing-kucingan dengan satpol-PP harapan ini muncul karena mereka
menilai peranan pemerintah belum maksimal dalam
menangani masalah waria, meskipun sudah ada beberapa bentuk bantuan
pemerintah seperti sanunan, tunjangan dan pelatihan.
Para waria ini rata-rata mulai merasakan
tanda-tanda adanya kecenderungan memiliki jiwa wanita sejak dibangku Sekolah
Dasar. Banyak sekali perlakuan yang mereka alami semenjak tanda-tanda itu
muncul seperti sering di kejar-kejar laki-laki sampai di cium oleh seorang
laki-laki ada juga yang pernah sampai di sukai oleh calon mertuanya sendiri
ketika ingin dinikahkan dengan anaknya. Latar belakang yang mendasari mereka
menjadi waria sangat beragam ada yang karena bertengkar dengan orang tua,
memang sudah ada niatan menjadi waria, keluarga tidak mau menerima keadan
mereka yang memang cenderung jiwa perempuan. Sikap keluarga pun dalam menerima
mereka pun rata-rata pertama kali tidak mau menerima mereka sebagai waria
karena mereka memandang waria itu sebagai aib, namun lama kelamaan keluarga
juga mampu menerima keadaan mereka.
Alasan mereka memilih menjadi waria
adalah untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga. Pendapatan para waria ini
juga beragam mulai dari Rp 60.000 - Rp 400.000 per malam. Para waria juga
menentukan tarif bagi para pelanggan mulai dari Rp. 50.000 sampai Rp. 150.000
namun tidak jarang juga dari mereka yang menerima bayaran sukarela dari para
pelanggan. Pengalaman yang mereka rasakan selama bergelut denga dunia mala mini
juga sangat beragam mulai dari mendapat perlakuan pelanggan yang tidak
mengenakkan, perlakuan kasar dari rekan waria meraka, terjebak oleh pelangan
yang ternyata adalah anggota satpol-PP yang sedang menyamar, kehilangan dompet,
tidak mendapatkan penghasilan sama sekali sampai berhutang kepada teman untuk
hidup esok hari, bahkan pernah di lempar batu dan wig yang di gunakan di bakar.
Tidak sedikit dari waria ini yang memiliki pasangan hidup yang mampu menerima
keadaan fisik dan psikologis mereka.
Persatuan Waria
Semarang (PERWARIS)
3.4.1 Penjelasan
Persatuan Waria Semarang didirikan pada
2 Mei 2008, dengan Akta
Notaris nomer 04 tahun 2009. Beranggotakan
waria di Kota Semarang dan sekitarnya. Lembaga ini dibentuk atas dasar asas
kekeluargaan dan gotong royong. Dari dasar tersebut, PERWARIS bertujuan untuk dapat
menjadi lembaga dan organisasi waria yang bisa menaungi waria di Kota Semarang
dan sekitarnya.
3.4.2 Visi dan Misi
Visi:
Mengembangkan
potensi yang dimiliki komunitas waria melalui kegiatan positif sehingga bisa
diterima serta dihargai oleh masyarakat
Misi:
Memberikan
dukungan dan layanan kepada komunitas waria dalam kehidupan bermasyarakat.
3.4.3 Kegiatan PERWARIS
} Pertemuan Bulanan
|
} Dendang Waria
|
} Pelatihan Volly
|
} Pelatihan Keyboard
|
} Pelatihan Peer Educator
|
} Pelatihan Bahas Inggris
|
} Pemeriksaan Kesehatan
|
} Bergabung Dengan Jaringan Gwl-Ina
|
3.4.4 Rencana Kerja
· Pendampingan dan pelatihan ketrampilan pada ODHA waria
· Melakukan
siraman rohani secara rutin dengan tujuan meningkatkan iman dan taqwa kepada
Tuhan YME.
· Pelatihan Peer Educator sesi kedua
3.4.5
Sumber Dana
· Selama
ini PERWARIS membiayai kegiatan
dari uang kas yang di dapat dari iuran bulanan anggota.
· Dukungan dari GWL_INA melalui pengajuan proposal
kegiatan.
· KPA Kota Semarang
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Simpulan
Pada umumnya, alasan mereka menjadi
waria adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih baik untuk diri sendiri
maupun keluarga. Pandangan buruk masyarakat mengenai waria selama ini merupakan
cara pandang yang salah. Penulis membuktikan melalui observasi, dimana hasil
observasi menunjukan tidak semua dan selamanya waria melakukan profesi yang
dianggap “hina” dalam masyarakat. Tidak sedikit temuan yang menunjukan waria
tersebut mampu diterima di masyarakat dengan profesi yang berbeda, seperti
merias, salon, menyanyi, dan sebagainya. Alasan ekonomi yang selama ini
dianggap mendasari seseorang memutuskan menjadi waria, ternyata bukan faktor
yang mendominasi, karena berdasar penelitian, telah ditemukan faktor lain yang
berpengaruh besar terhadap keputusan seseorang menjadi waria, yakni faktor
psikologis. Oleh karena itu, sudah sepantasnya masyarakat tidak mengesampingkan
kesejahteraan sosial bagi waria karena selain sebagai warga Negara yang berhak
menerima kesejahteraan sosial, waria juga memiliki pengaruh terhadap perwujudan
kesejahteraan sosial suatu Negara. Harapan besar mereka, pemerintah harus
memberikan wadah yang melegalkan waria, sehingga dapat diterima dalam kehidupan
mayarakat dan mendapat jaminan perlindungan hokum dan sosial dalam melakukan
aktivitasnya.
4.2 Solusi
Perwaris (Persatuan Waria Semarang)
adalah salah satu solusi riil yang selama ini telah mampu memberikan wadah bagi
para waria untuk mengekspresikan diri. Untuk pengembangan organisasi, diperlukan
kerjasama dan dukungan dari pihak lain, khususnya pemerintah, karena masalah
utama selama ini adalah sulitnya menjalin kerjasama dengan pemerintah. Pihak
lain yang dirasa memiliki kemampuan yang dapat mendorong organisasi Perwaris
seperti kampus, LSM, Komunitas diharapkan menjalin sinergitas yang memudahkan
pencapaian tujuan organisasi.
Bagi para waria, sebaiknya jangan hanya
mengandalkan menjadi waria semata, dalam arti “menjual diri”, namun menjadi
waria berkualitas yang mampu berekspresi lebih sesuai bakat dan kemampuan diri.
Bagi masyarakat umum, sudah saatnya menerima waria menjadi bagian nyata dalam
masyarakat meskipun tidak dapat dipungkuri waria adalah bentuk penyimpangan
sosial.
DAFTAR
PUSTAKA
Sugihastuti
dan Itsna Hadi Saptiawan. 2010. Gender
& Inferioritas Perempuan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nugroho,
Riant. 2014. Kebijakan Sosial untuk
Negara Berkembang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.