Senin, 13 April 2015

Waria dalam Perspektif Kesejahteraan Sosial (Studi Kasus: Fenomena Waria di Semarang)






WARIA DALAM PERSPEKTIF KESEJAHTERAAN SOSIAL
(Studi Kasus: Fenomena Waria di Semarang)


MAKALAH
Mata Kuliah: Kebijakan Sosial

Kelompok I
Dosen Pengampu: Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin




JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015



KELOMPOK I:
1. Muhammad Salim                 (14010113120028)                  : Ketua
2. Ivana Andi Sabani                 (14010113120023)                  : Sekretaris
3. Novita Trisniawan                 (14010113120011)                  : Anggota
4. Deviria Arofatul K.                (14010113120017)                  : Anggota
5. S. Piter Von Dasa                  (14010113120009)                  : Anggota
6. M. Toha Putra                       (14010113120036)                  : Anggota
7. Gholal Pusthika W.               (14010113120040)                  : Anggota
8. Ahmad Muhammad F.          (14010113120030)                  : Anggota
9. Reviansyah Ramadhan           (14010113120002)                  : Anggota
10. Galang Adit Hutsa D.          (14010113120024)                  : Anggota


KATA PENGANTAR

       Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas rahmat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah Penelitian yang berjudul Waria dalam Perspektif Kesejahteraan Sosial (Studi Kasus pada Fenomena Waria di Semarang).

       Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal itu dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan umumnya bagi kita semua.

       Akhir kata, kami memoohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan.

                                                                                   
Semarang, April 2015

Tim Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Gender bukanlah suatu yang manusia dapatkan semenjak lahir dan bukan juga sesuatu yang dimilikinya, melainkan sesuatu yang kita lakukan (West, Candace and Zhimmerman, Don. 1987. “Doing Gender”. Gender and Society), sesuatu yang ditampilkan (Judith Butler. 1990. Gender Trouble: Feminism and the subervision of identify. New York And London: Rountledge ).  Gender melekat pada dan memengaruhi penampilan setiap orang sehingga nantinya akan muncul semacam sikap otoriter pada penampilan persona-persona tersebut. Dewasa ini, seks dan gender dianggap menyatu melalui pandangan masyarakat yang mencoba untuk memadu-padankan cara bertindak dengan kodrat biologis.
Kelamin (seks) merupakan penggolongan biologis yang didasarkan pada sifat reprofuksi potensial. Kelamin berlainan dengan gender yang merupakan elaborasi sosial dari sifat biologis. Gender membangun sifat biologis dari yang awalnya bersifat alami, kemudian melebih-lebihkannya, dan pada akhirnya menempatkannya pada posisi yang sama sekali tidak relevan. Misalnya saja, tidak ada alasan biologis yang dapat menjelaskan mengapa perempuan harus berlenggok dan para lelaki harus membusung atau, mengapa perempuan haus memakai kutek di kakinya, sedangkan laki-laki tidak. Walau demikian, batas bahwa kelamin bersifat biologis dan gender bersifat sosial terlalu samar. Pembedaan kelamin dan gender merupakan hal yang paling sulit untuk diterangkan, mengingat tidak ada kriteria obyektif untuk menggolongkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, meskipun kelamin sudah jelas didefinisikan sebagai kombinasi unsur-unsur anatomis, endokrin, dan kromosom. Seleksi pada kriteria tersebut erat hubungannya dengan kepercayaan kultural tentang bagaimana mengatakan seseorang dengan sebutan “laki-laki” atau “perempuan”.
Menamai seseorang dengan label laki-laki atau perempuan tidak lebih merupakan keputusan yang amat bersifat sosial. Manusia dapat saja menggunakan bantuan pengetahuan ilmiah untuk membuatnya masuk akal, namun hanya kepercayaan genderlah yang dapat mendefinisikan jenis kelamin individu yang bersangkutan. Waria (wanita pria) merupakan fenomena nyata yang sudah lama mewarnai kehidupan sosial masyarakat. Dalam konteks di Indonesia, keberadaan waria adalah hal tabu yang secara umum dipandang negatif. Tidak adanya hukum dan/atau peraturan perundangan yang mengatur secara jelas tentang waria menyebabkan nihilnya perlindungan hukum terhadap waria. Diskriminasi sosial terhadap waria adalah masalah mendasar yang dihadapi para waria, meskipun notabene mereka termasuk warga negara dan penduduk suatu Negara yang seharusnya mendapat hak dan perlakuan yang sama. Realita kehidupan waria menjadi fokus penelitian yang akan dikaji mendalam oleh penulis, dan pada akhirnya solusi permasalahan waria, dalam hal ini di Semarang , menjadi titik tuju penelitian yang dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis mengangkat rumusan maslah sebagai berikut:
a.         Apa yang melatarbelakangi seseorang menjadi waria?
b.         Bagaimana pandangan masyarakat terhadap keberadaan waria?
c.         Bagaimana keterkaitan waria dengan kesejahteraan sosial?
d.        Bagaimana realita kehidupan waria di Semarang?
e.         Bagaimana solusi kebijakan atas fenomena waria di Semarang?
1.3 Tujuan Penelitian
  1. Mengetahui latar belakang seseorang menjadi waria.
  2. Mengetahui pandangan masyarakat terhadap keberadaan waria.
  3. Mengetahui keterkaitan waria dengan kesejahteraan sosial.
  4. Mengetahui realita kehidupan waria di Semarang.
  5. Mengetahui solusi kebijakan atas fenomena waria di Semarang.



BAB II
TINJAUAN  TEORI
2.1 Tentang Waria
Adapun, jika dipandang dari sudut pandang sosiologi, penyebab/faktor mengapa laki-laki dapat dikatakan waria, dapat diterapkan dalam Teori Perilaku Menyimpang, yaitu :
A.       Teori Differential Association (pergaulan berbeda)
Teori ini diciptakan oleh Edwin H. Sutherland yang berpendapat bahwa penyimpangan  bersumber pada pergaulan berbeda. Penyimpangan dipelajari melalui proses alih budaya. hal ini cocok dengan salah satu alasan mengapa seorang laki-laki menjadi waria. Contohnya, dari berita yang saya baca menyebutkan bahwa “Kondisi eksternal dari para pelaku penyimpangan cenderung memberikan kesempatam mereka untuk melakukan kegiatan tersebut. Hal ini terbukti dari Kisah Agus bermula saat dirinya bercita-cita membuka usaha tata rias pengantin. Pada 2010 lalu, Agus izin kepada orangtuanya untuk menimba ilmu dengan mengikuti kursus tata rias di Kota Solo. Sesampai di Solo, Agus dikenalkan dengan beberapa teman yang ahli di bidang tata rias. Namun karena pengaruh lingkungan,  Agus kemudian mengubah penampilan seperti wanita. Hingga label waria  pun disandangnya. Agus berdalih, pendapatan dari waria dapat digunakan untuk menambah modal usahanya. Profesi yang Agus jalani saat ini ternyata tidak diketahui keluarganya. Keluarga mengira bahwa Agus sedang belajar dan telah membuka usaa tata rias di Solo” (www.solopos.com: Saat Agus Berubah Jadi Angel)
B.       Teori Labeling
Teori ini disampaikan oleh Edwin M. Lemerd yang berpendapat bahwa seseorang yang telah melakukan penyimpangan pada tahap primer (pertama) lalu oleh masyarakat sudah diberi cap sebagai penyimpangan, maka orang tersebut terdorong untuk melakukan penyimpangan skunder (tahap lanjut) dengan alasan “kepalang tanggung”. Contohnya, jika ada seorang laki-laki yang lewat di hadapan warga sekitar, dan laki-laki tersebut berusaha untuk tetap ramah dan sopan kepada warga sekitar dengan memberi ucapan “permisi” ketika lewat di hadapan warga sekitar tersebut. Kebanyakan dari warga sekitar tersebut banyak yang menggunjing dan memanggil laki-laki tersebut dengan sebutan”BANCI” karena dilihat dari cara berjalannya, dan kebanyakan teman yang dia miliki adalah wanita. Lama-lama laki-laki tersebut terus diberi label/sebutan “BANCI” maka dalam pikirannya akan terbesit “daripada saya terus dipanggil banci, sekalian saja saya menjadi banci.”
C.       Teori Fungsional
Teori ini dipelopori oleh Emile Durkhem adalah bahwa kesadaran moral dari semua masyarakat adalah faktor keturunan, perbedaan lingkungan fisik, dan lingkungan sosial. Contoh : Laki-laki yang ayahnya seorang waria, dan tinggal di lingkungan waria maka ia berpeluang besar untuk menjadi waria.
2.2 Kesejahteraan Sosial
          Kesejahteraan sosial dalam arti yang sangat luas mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik. Menurut Gertrude Wilson, kesejahteraan sosial merupakan usaha yang terorganisir dari semua untuk semua. Menurut Walter Friedlander, kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisir dari institusi dan pelayanan sosial, yang dirancang untuk membantu individu ataupun kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan.

                                                                    BAB III                      
POTRET DAN ANALISIS

1.1    Latar Belakang Seseorang Menjadi Waria
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
·      Terjebak dalam raga yang salah
Banyak waria yang akhirnya mengkambinghitamkan penepmpatan raga. Beberapa waria beralasan bahwa sebenarnya mereka adalah perempuan tetapi dilahirkan dalam bentuk tubuh laki-laki. Para waria pun kebanyakan mengaku bahwa naluri dalam dirinya murni (100 persen) perempuan.
·      Adanya mutasi gen
Secara medis, ada hormon yang menyebabkan pria berperilaku seperti wanita dan merasa lebih nyaman dengan tingkah seperti itu. Mutasi gen ini akan menyebabkan kelainan gen pada pria bersangkutan, misalnya model gen XXY, gen wanita (X) lebih dominan. Maka, pria tersebut akan mengalami kelainan yang mencolok pada bagian tubuhnya. Misalnya, tumbuh payudara seperti perempuan.
·      Tuntutan ekonomi
Tuntutan ekonomi boleh dikatakan sebagai alasan paling kuat dan paling konkret yang menyebabkan seseorang menjadi waria. Dalam kasus sperti ini, menjadi waria hanya bersifat kepura-puraan demi mendapatkan uang. Namun, kepura-puraan ini pun bisa menjerat waria ke dalam kebiasaan hingga akhirnya kebablasan.
·      Terpengaruh budaya barat
Di era globalisasi atau era pasar bebas ini, manusia rentan terpengaruh oleh budaya-budaya luar yang mayoritas tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Salah satunya adalah pilihan menjadi waria. Di beberapa negara, pernikahan sejenis memang sudah dilegalkan oleh negara, termasuk pilihan seseorang untuk menjadi waria. Bahkan, negara-negara tersebut sering mengadakan kontes-kontes kecantikan yang pesertanya dari kalangan waria. Hal inilah yang turut ditiru oleh masyrakat Indonesia. Mereka mengadopsi budaya luar tanpa penyesuaian hingga akhirnya menimbulkan penyimpangan.
·      Trauma
Faktor traumatis memang bisa menjadi pemicu seorang pria memutuskan untuk menjadi waria. Boleh jadi, pria tersebut pernah mendapatkan perlakuan tidak senonoh sehingga ia merasa nyaman dengan keadaanya sebagai waria. Bisa pula karena ia sempat disakiti wanita sehingga memutuskan untuk menyukai sesama jenis dengan jalan mengubah tampilan menjadi waria.
·      Pengaruh lingkungan
Tidak dapat dipungkiri, lingkungan merupakan faktor pendukung terbesar yang menentukan masa depan seseorang. Termasuk menentukan waria atau tidaknya seorang pria. Pria yang sejak kecil bergaul dengan wanita, cenderung tumbuh menjadi sosok seperti wanita. Contoh lain, pria yang bekerja di salon cenderung memiliki sifat gemulai seperti wanita karena yang mereka layani setiap hari adalah wanita.
·      Dalam agama Islam
Telah disebutkan bahwa salah satu tanda-tanda kiamat atau akhir zaman adalah banyaknya pria yang berperilaku dan berpenampilan layaknya wanita. Begitupun sebaliknya. Wanita berperilaku dan berpenampilan layaknya pria. Melihat kondisi saat ini, tampaknya hari kiamat semakin dekat seiring menjamurnya para waria. Begitu banyak alasan seseorang memilih menjadi waria karena mutasi gen maupun profesi. Namun, alasan apapun tidaklah bisa dijadikan pembenaran karena agama Islam terang-terangan melarang seseorang menjadi waria. Apalagi jika pengingkaran kodrat itu disertai dengan opeasi ganti kelamin atau melakukan suntik silikon untuk menumbuhkan payudara.

3.2 Pandangan Masyarakat terhadap Waria
Teori Labeling yang disampaikan oleh Edwin M. Lemerd yang berpendapat bahwa seseorang yang telah melakukan penyimpangan pada tahap primer (pertama) lalu oleh masyarakat sudah diberi cap sebagai penyimpangan, maka orang tersebut terdorong untuk melakukan penyimpangan skunder (tahap lanjut) dengan alasan “kepalang tanggung”.
Masyarakat sebagai sebuah kumpulan individu memiliki sejumlah norma dan nilai sosial di dalamnya, yang tujuannya untuk menata keteraturan dalam masyarakat itu. Norma dan nilai sosial itu diperoleh bukannya tanpa proses, melainkan melewati proses pengintegrasian berbagai macam kepentingan dan perbedaan antar individu dengan pedoman agama atau kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Ketika nilai-nilai dan norma dalam masyarakat yang telah disepakati bersama itu dilanggar, maka akan terjadi suatu kondisi yang tidak teratur dalam masyarakat tersebut, dan hal ini akan menyebabkan adanya disintegrasi masyarakat.
Misalnya kemunculan seorang waria yang merupakan sebuah fenomena sosial tersendiri bagi masyarakat kita dimana sampai saat ini waria adalah salah satu kaum yang terpinggirkan, bahkan menjadi kaum yang paling terpinggirkan. Banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap eksistensi waria, bahkan secara terang-terangan mereka beranggapan negative, seperti anggapan bahwa waria adalah sampah masyarakat, waria sebagai penyebar penyakit masyarakat, dan kesemuanya itu seolah menyiratkan bahwa waria selama ini diperlakukan sebagai sebuah objek, bukan subjek. Sehingga waroia sering mendapat perlakuan yang semena-mena, dihina, dan dicaci.
Masyarakat, dalam mereka memaknai waria tidak terlepas dari ruang-ruang yang dipakai oleh waria itu untuk beraktivitas, khususnya dalam konteks ruang secara publik dimana identitas seseorang terrepresentasikan melalui ruang publik tersebut, sehingga masyarakat bisa mengetahui identitas seseorang dengan melihat perilakunya dalam ruang publik. Selain ruang publik, ruang yang dipakai waria untuk beraktivitas secara sosial adalah dalam keluarga. Kemunculan waria dalam mayarakat, pastilah bermula dari keberadaannya dalam keluarga karena keluarga adalah ruang pertama kali manusia hidup secara sosial dan tempat di mana pertama kali seseorang mendapat pelajaran mengenai kepribadian lewat proses-proses sosialiasasi.
Saat waria memutuskan pilihan hidup untuk menjadi seorang waria sering kali ditentang oleh pihak keluarga, meskipun itu bisa juga disebabkan karena dari keluarga itu sendiri yang tidak menyadari ada anggota keluarganya yang sejak kecil telah melakukan perilaku yang “tidak seperti biasanya”. Keluarga baru akan melakukan tindakan ketika waria tersebut telah dewasa, ketika waria telah menemukan ruang dan komunitas mereka sendiri di mana komunitas itu sudah terlepas dari tataran keluarga bahkan setelah menjadi seorang PSK, Karena kebanyakan keberadaan waria di jalan dan berkerja sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah para waria yang memang tidak mendapat tempat dalam keluarganya. Keluarga yang semestinya menjadi pelindung, menjadi tempat yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi tiap individu akan berubah menjadi tempat yang menakutkan, saat seseorang memutuskan menjadi waria dan keluarga menolaknya. Ketika fungsi keluarga sebagai tempat menemukannya rasa aman dan nyaman sudah tidak berfungsi lagi, maka waria akan menghadapi tekanan-tekanan sosial dalam masyarakat. Misalnya tekanan sosial berupa:
1.      Diskriminasi, terjadi ketika ada perbedaan yang ditujukan kepada seseorang yang mengakibatkan orang tersebut diperlakukan tidak adil, berdasarkan mereka tidak termasuk atau dianggap masuk kelompok tertentu
2.      Perlakuan yang Tidak Manusiawi, misalnya diejek, dihina, diludahi, dipegang-pegang (pelecehan seksual), serta pemerasan
3.      Memberikan Stigma yang Buruk, mengisolir dan memandang rendah terhadap kelompom tertentu
4.      Upaya Penolakan, cemoohan dan pengucilan yang dilakukan masyarakat kebanyakan kepada kelompok tertentu.
Tatanan sosial dalam masyarakat di Indonesia saat ini masih menganggap bahwa waria adalah sebuah “penyakit”, sebuah defiasi, dan sebuah ketidakwajaran sosial sehingga mereka belum bisa diterima secara seutuhnya dalam masyarakat.

3.3    Keterkaitan Waria dengan Kesejahteraan Sosial
Waria merupakan kelompok marjinal yang menjadi sasaran kesejahteraan sosial. Menurut Walter Friedlander, kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisir dari institusi dan pelayanan sosial yang dirancang untuk membantu individu ataupun kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan. Berdasar teori tersebut, jika pelayanan sosial mampu menjangkau kelompok marjinal, maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan sosial tinggi, karena salah satu bagian dari kesejahteraan sosial yaitu pelayanan sosial telah mampu menjangkau kelompok terbawah lapisan masyarakat.

3.4    Hasil Wawancara (terlampir)
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan dapat disimpulkan bahwa masalah sosial yang dihadapi waria adalah para pelanggan yang bersikap tidak baik, ancaman penyakit,tidak di terimanya mereka di lingkungan oleh masyarakat dan masalah keluarga khususnya bagaimana menjelaskan kepada mereka mengenai profesi mereka sebagai waria.Untuk tetap survive para waria ini hanya mengandalkan menjadi waria,namun tak jarang dari mereka juga memiliki penghasilan dari pekerjaan lain seperti merias dan membuka salon. Perihal diadakannya razia dari pihak pemerintah para waria ini memiliki banyak cara untuk mengatsinya, seperti dengan berlari hingga keparit-parit atau sungai ada yang hanya diam merendahkan diri agar tidak ditahan. Para waria ini memiliki harapan bahwa mereka ingin masyarakat tidak memandang mereka sebelah mata, menerima mereka di dalam masyarakat sebagai waria karena mereka juga tidak melakukan tindak kejahatan di masyarakat. Harapan untuk pemerintah adalah pemerintah mambu membuka lapangan pekerjaan seluas luasnya, memberikah pelatihan kepada waria agar menjadi waria yang berkualitas bukan waria yang hanya menjajakan tubuhnya saja, mampu memberikan wadah untuk para waria agar mereka menjadi resmi keberadaannya dan tidak harus bersusah payah melarikan diri atau kucing-kucingan dengan satpol-PP harapan ini muncul karena mereka menilai peranan pemerintah belum maksimal dalam  menangani masalah waria, meskipun sudah ada beberapa bentuk bantuan pemerintah seperti sanunan, tunjangan dan pelatihan.
Para waria ini rata-rata mulai merasakan tanda-tanda adanya kecenderungan memiliki jiwa wanita sejak dibangku Sekolah Dasar. Banyak sekali perlakuan yang mereka alami semenjak tanda-tanda itu muncul seperti sering di kejar-kejar laki-laki sampai di cium oleh seorang laki-laki ada juga yang pernah sampai di sukai oleh calon mertuanya sendiri ketika ingin dinikahkan dengan anaknya. Latar belakang yang mendasari mereka menjadi waria sangat beragam ada yang karena bertengkar dengan orang tua, memang sudah ada niatan menjadi waria, keluarga tidak mau menerima keadan mereka yang memang cenderung jiwa perempuan. Sikap keluarga pun dalam menerima mereka pun rata-rata pertama kali tidak mau menerima mereka sebagai waria karena mereka memandang waria itu sebagai aib, namun lama kelamaan keluarga juga mampu menerima keadaan mereka.
Alasan mereka memilih menjadi waria adalah untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga. Pendapatan para waria ini juga beragam mulai dari Rp 60.000 - Rp 400.000 per malam. Para waria juga menentukan tarif bagi para pelanggan mulai dari Rp. 50.000 sampai Rp. 150.000 namun tidak jarang juga dari mereka yang menerima bayaran sukarela dari para pelanggan. Pengalaman yang mereka rasakan selama bergelut denga dunia mala mini juga sangat beragam mulai dari mendapat perlakuan pelanggan yang tidak mengenakkan, perlakuan kasar dari rekan waria meraka, terjebak oleh pelangan yang ternyata adalah anggota satpol-PP yang sedang menyamar, kehilangan dompet, tidak mendapatkan penghasilan sama sekali sampai berhutang kepada teman untuk hidup esok hari, bahkan pernah di lempar batu dan wig yang di gunakan di bakar. Tidak sedikit dari waria ini yang memiliki pasangan hidup yang mampu menerima keadaan fisik dan psikologis mereka.
Persatuan Waria Semarang (PERWARIS)
3.4.1 Penjelasan
Persatuan Waria Semarang didirikan pada 2 Mei 2008, dengan Akta Notaris nomer 04 tahun 2009.  Beranggotakan waria di Kota Semarang dan sekitarnya. Lembaga ini dibentuk atas dasar asas kekeluargaan dan gotong royong. Dari dasar tersebut, PERWARIS bertujuan untuk dapat menjadi lembaga dan organisasi waria yang bisa menaungi waria di Kota Semarang dan sekitarnya.
3.4.2 Visi dan Misi
Visi:
Mengembangkan potensi yang dimiliki komunitas waria melalui kegiatan positif sehingga bisa diterima serta dihargai oleh masyarakat
Misi:
Memberikan dukungan dan layanan kepada komunitas waria dalam kehidupan bermasyarakat.
3.4.3 Kegiatan PERWARIS
} Pertemuan Bulanan
}  Dendang Waria
} Pelatihan Volly
}  Pelatihan Keyboard
}  Pelatihan Peer Educator
}  Pelatihan Bahas Inggris
}  Pemeriksaan Kesehatan
}  Bergabung Dengan Jaringan Gwl-Ina

3.4.4 Rencana Kerja
·      Pendampingan dan pelatihan ketrampilan pada ODHA waria
·      Melakukan siraman rohani secara rutin dengan tujuan meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan YME.
·      Pelatihan Peer Educator sesi kedua
3.4.5 Sumber Dana
·      Selama ini PERWARIS membiayai kegiatan dari uang kas yang di dapat dari iuran bulanan anggota.
·      Dukungan dari GWL_INA melalui pengajuan proposal kegiatan.
·      KPA Kota Semarang



BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Pada umumnya, alasan mereka menjadi waria adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih baik untuk diri sendiri maupun keluarga. Pandangan buruk masyarakat mengenai waria selama ini merupakan cara pandang yang salah. Penulis membuktikan melalui observasi, dimana hasil observasi menunjukan tidak semua dan selamanya waria melakukan profesi yang dianggap “hina” dalam masyarakat. Tidak sedikit temuan yang menunjukan waria tersebut mampu diterima di masyarakat dengan profesi yang berbeda, seperti merias, salon, menyanyi, dan sebagainya. Alasan ekonomi yang selama ini dianggap mendasari seseorang memutuskan menjadi waria, ternyata bukan faktor yang mendominasi, karena berdasar penelitian, telah ditemukan faktor lain yang berpengaruh besar terhadap keputusan seseorang menjadi waria, yakni faktor psikologis. Oleh karena itu, sudah sepantasnya masyarakat tidak mengesampingkan kesejahteraan sosial bagi waria karena selain sebagai warga Negara yang berhak menerima kesejahteraan sosial, waria juga memiliki pengaruh terhadap perwujudan kesejahteraan sosial suatu Negara. Harapan besar mereka, pemerintah harus memberikan wadah yang melegalkan waria, sehingga dapat diterima dalam kehidupan mayarakat dan mendapat jaminan perlindungan hokum dan sosial dalam melakukan aktivitasnya.    
4.2 Solusi
Perwaris (Persatuan Waria Semarang) adalah salah satu solusi riil yang selama ini telah mampu memberikan wadah bagi para waria untuk mengekspresikan diri. Untuk pengembangan organisasi, diperlukan kerjasama dan dukungan dari pihak lain, khususnya pemerintah, karena masalah utama selama ini adalah sulitnya menjalin kerjasama dengan pemerintah. Pihak lain yang dirasa memiliki kemampuan yang dapat mendorong organisasi Perwaris seperti kampus, LSM, Komunitas diharapkan menjalin sinergitas yang memudahkan pencapaian tujuan organisasi.
Bagi para waria, sebaiknya jangan hanya mengandalkan menjadi waria semata, dalam arti “menjual diri”, namun menjadi waria berkualitas yang mampu berekspresi lebih sesuai bakat dan kemampuan diri. Bagi masyarakat umum, sudah saatnya menerima waria menjadi bagian nyata dalam masyarakat meskipun tidak dapat dipungkuri waria adalah bentuk penyimpangan sosial.




DAFTAR PUSTAKA
Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan. 2010. Gender & Inferioritas Perempuan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nugroho, Riant. 2014. Kebijakan Sosial untuk Negara Berkembang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.