Manusia
adalah makhluk sosial, maka dari itu, ia tak dapat hidup jika tanpa bantuan
orang lain. Tak dapat dipungkiri, kita semua harus menyadari hal itu. Begitu juga
dengan remaja-remaja di dunia ini, mereka tak akan mampu menjalani kehidupan
ini dengan sempurna tanpa adanya komunikasi timbal balik yang baik dengan
temannya. Teman/sahabat merupakan sosok-sosok pelengkap hidup kita di selain
waktu bersama keluarga kita di rumah. Teman juga dapat dijadikan sebagai tempat
mencurahkan keluh dan kesah kita.
Namun tak dapat dielakkan, memilih
teman merupakan suatu proses yang tak sulit dan juga tak mudah. Seseorang akan
sedikit demi sedikit meniru sikap sikap yang ditimbulkan oleh pergaulannya. Seperti
menurut sebuah perumpamaan, bahwa apabila seseorang berteman dengan penjual
parfum, maka ia akan menjadi wangi, begitu juga dengan seseorang yang berteman
dengan pemasok ikan, maka bau ikanlah yang akan mengubah aroma pada dirinya.
Teringat dua tahun lalu, ketika saya
berkecimpung di dalam organisasi (namun sering kebanyakan orang menyebutknya
sebagai ekskul biasa), saya menemukan sosok-sosok inspiratif di dalam
organisasi tersebut. Mereka merupakan teman sejawat yang telah menjadi rekan
kerja di dalam organisasi itu. Mereka merupakan siswa-siswi (pada saat itu)
yang memiliki kesadaran tinggi atas sebuah organisasi. Kami sering kali
mengalami hal-hal pahit selama itu, banyak sekali rintangan dan permasalahan yang
muncul, baik itu masalah yang timbul dari kami sendiri maupun hal-hal yang
datang dari pihak eksternal. Terkadang juga terjadi masalah antar individu yang
satu dengan yang lainnya. Namun tidak selamanya kami mengalami
ketimpangan-ketimpangan tersebut. Layaknya sebuah roda yang berputar, kehidupan
kami pun banyak atau bahkan sering dilalui dengan keceriaan dan kebahagiaan. Kebahagiaan
kami yang paling sederhana antara lain setiap suksesnya acara-acara yang telah
kami rancang dan kami programkan bahkan berbulan-bulan lamanya. Kebahagiaan lain
yang umum di dalam kehidupan remaja juga kami rasakan seperti halnya cinta
lokasi dan lain sebagainya. Semuanya kami lewati dengan penuh lika-liku. Tetapi
rasa memiliki satu sama lain lah yang membuat beban-beban itu menjadi sirna.
Bahkan sampai saat ini, setelah kami
memasuki jenjang yang lebih tinggi, dan kebanyakan dari kami menempuhnya di
luar kota, kami selalu menyempatkan untuk mengadakan acara-acara sederhana yang
dapat memperkokoh hubungan, setiap kali kita pulang kampung. Hal itu dapat
terjadi lantaran pengalaman selama kurun waktu dua tahun yang menjadikan kami
pribadi-pribadi yang kuat, pribadi yang mencoba tersenyum dalam setiap
keterpurukan, selalu tenang dalam kerisauan yang melanda. Dan kami mencoba
menjaga komitmen untuk menjadi sebuah benteng sejarah yang amat kokoh, yang
terbangun dari tumpukan-tumpukan batu, dan setiap bongkah batu tersebut adalah
individu-individu dari kami. Kami yang menamakan diri sebagai keluarga. Keluarga
yang tak selalu bertemu setiap detik namun selalu ada di hati sanubari setiap
saat.