Jumat, 28 Februari 2014

Pendidikan Agama 1


ORGANISASI ISLAM DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP POLITIK DI INDONESIA


KELOMPOK 4
Oleh:
1.      BALQIS DWI WINDASARI                   (14010113120021)
2.      HERATI SEKAR PURI                            (14010113120022)
3.      IVANA ANDI SABANI                          (14010113120023)
4.      GALANG ADIT HUTSA D.                    (14010113120024)
5.      ARUM MASTUTI                                     (14010113120026)
6.      MARISKA BUNGA C.                            (14010113120027)
7.      MUHAMMAD SALIM                            (14010113120028)



                                  
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2013

KATA PENGANTAR

       Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas rahmat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah yang berjudul “Organisasi Islam dan Kontribusinya terhadap Politik di Indonesia” ini membahas mengenai kontribusi yang telah umat Islam berikan dalam aspek politik di Indonesia, dalam konteks ini adalah organisasi-organisasi Islam yang ada dan terbesar di Indonesia.
       Dalam penulisan makalah ini kami banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan makalah ini.
       Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal itu dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan umumnya bagi kita semua.
       Akhir kata, kami memoohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan.

                                                                                   
                                                                                                Semarang, November 2013


                                                                                                            Tim Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam tidak hanya berbicara tentang ibadah mahdah dan muamalah yang bersifat terbatas, melainkan berbicara juga mengenai kepemimpinan, politik, negara, dan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin, atau antara yang berkuasa dengan yang dikuasai. Bahwa seorang pemimpin harus memegang janji, jujur, amanah dan bertanggungjawab untuk menjalankan kekuasaannya berdasarkan kepentingan umum, itu adalah inti sari ajaran islam yang agung. Kepemimpinan bukan suatu prestise yang perlu dibanggakan, tapi merupakan bentuk pengabdian dan pertanggungjawaban terhadap prinsip-prinsip keimanan. Seseorang yang dianggap menjadi pemimpin harus memegang komitmen untuk menggunakan kewajiban kepemimpinannya dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bersama.
Agama Islam merupakan agama yang tidak menyulitkan umatnya dalam beribadah, juga tidak menyulitkan dalam kehidupan para umatnya. Dengan hukum yang tegas, Islam mampu mendidik umatnya menjadi sosok-sosok yang memiliki budi pekerti luhur. Dalam dunia politik di Indonesia, umat Islam pada khususnya memiliki peran yang cukup besar dalam aspek politik tersebut. Ada beberapa organisasi Islam yang bergerak di bidang politik. Organisasi tersebut dianggap mampu menggerakan roda dunia politik di Indonesia dan dianggap juga sebagai penopang kehidupan masyarakat Indonesia sehingga terwujud kesejahteraan umat. Dengan kontribusinya yang diberikan kepada negara untuk kepentingan bersama, organisasi-organisasi yang dijalankan oleh umat Islam itu telah banyak memberikian sumbangsi kepada masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
a)      Bagaimana sejarah politik Islam di Indonesia?
b)      Apa yang dimaksud dengan organisasi Islam?
c)      Apa saja organisasi Islam yang pernah berdiri di Indonesia?
d)     Mengapa organisasi Islam dianggap berkontribusi terhadap politik di Indonesia?



C.    Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini antara lain:
1)      Sebagai bahan pendalaman atas materi kuliah yang sudah disampaikan
2)      Untuk penemabahan wawasan mahasiswa mengenai politik Islam yang ada di Indonesia
3)      Memberikan informasi mengenai organisasi Islam di Indonesia dan kontribusi-kontribusi yang terlah diberikan oleh organisasi tersebut terhadap aspek politik di Indonesi



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Politik Islam di Indonesia
1.      Era Kerajaan-Kerajaan Islam Berjaya
Salah satu penyebabnya adalah karena umat Islam menjadi penduduk mayoritas bangsa ini. Selain itu, dalam ajaran Islam sangat dianjurkan agar penganutnya senantiasa memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi orang banyak, bangsa, bahkan dunia. Penguasaan wilayah ranah politik menjadi sarana penting bagi umat Islam agar bisa memberikan kontribusi bagi bangsa ini. Pengaruh Islam terhadap perpolitikan nasional punya akar sejarah yang cukup panjang. Jauh sebelum penjajah kolonial bercokol di tanah air, sudah berdiri beberapa kerajaan Islam besar. Kejayaan kerajaan Islam di tanah air berlangsung antara abad ke-13 hingga abad ke-16 Masehi.
2.      Era Kolonial dan Kemerdekaan (Orde Lama)
Peranan Islam dan umatnya tidak dapat dilepaskan terhadap pembangunan politik di Indonesia baik pada masa kolonial maupun masa kemerdekaan. Pada masa kolonial Islam harus berperang menghadapi ideologi kolonialisme sedangkan pada masa kemerdekaan Islam harus berhadapan dengan ideologi tertentu macam komunisme dengan segala intriknya.
Meskipun para pendiri bangsa ini menerima Pancasila sebagai dasar negara, ada sebagian dari mereka yang meminta agar Islam tercantum secara eksplisit dalam konstitusi negara ini. Itu tampak pada Piagam Jakarta yang mendukung Pancasila sebagai dasar negara, namun dengan penambahan kata-kata “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” (Bahtiar Effendy, 2003). Piagam Jakarta yang awalnya disetujui masuk dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai bentuk kompromi dengan umat Islam itu ternyata tidak diterima secara bulat oleh anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejarah secara tegas menyatakan kalau pemimpin-pemimpin Islam punya andil besar terhadap perumusan NKRI. Baik itu mulai dari penanaman nilai-nilai nasionalisme hingga perumusan Undang-Undang Dasar Negara. Para pemimpin Islam terutama dari Serikat Islam pernah mengusulkan agar Indonesia berdiri di atas Daulah Islamiyah yang tertuang di dalam Piagam Jakarta. Namun, format tersebut hanya bertahan selama 57 hari karena adanya protes dari kaum umat beragama lainnya. Kemudian, pada tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia menetapkan Pancasila sebagai filosofis negara. Beberapa anggota dari kelompok sekuler dan nasionalis tidak menyetujui itu. Pada 18 Agustus 1945, setelah para anggota BPUPKI dari kelompok Islam didekati dan dilobi oleh para anggota dari kelompok nasionalis dan nonmuslim, akhirnya Piagam Jakarta ditarik dari Pembukaan UUD 1945.
Meskipun para founding fathers bangsa dari kalangan Islam saat itu menyetujui penarikan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945, tidaklah semua umat Islam menyetujui kompromi politik itu. Bagi sebagian tokoh dan umat Islam, penarikan Piagam Jakarta adalah awal mula kekalahan umat Islam di pentas politik nasional yang terus berlanjut hingga hari ini. Karena itu, aspirasi untuk menegakkan syariat Islam terus terjadi dan dilakukan terusmenerus. Bagi sebagian umat Islam yang lain, penarikan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945 adalah konsekuensi logis dari konsensus nasional bahwa Indonesia bukan negara agama. Indonesia bukan pula negara sekuler, Indonesia adalah negara hukum.
3.      Era Orde Baru
Pemerintahan masa orde baru menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas di dalam negara. Ideologi politik lainnya dipasung dan tidak boleh ditampilkan, termasuk ideologi politik Islam.
Hal ini menyebabkan terjadinya kondisi depolitisasi politik di dalam perpolitikan Islam. Politik Islam terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama di sebut kaum skripturalis yang hidup dalam suasana depolitisasi dan konflik dengan pemerintah. Kelompok kedua adalah kaum subtansialis yang mendukung pemerintahan dan menginginkan agar Islam tidak terjun ke dunia politik.
4.      Era Reformasi
Bulan Mei 1997 merupakan awal dari era reformasi. Saat itu rakyat Indonesia bersatu untuk menumbangkan rezim tirani Soeharto. Perjuangan reformasi tidak lepas dari peran para pemimpin Islam pada saat itu. Beberapa pemimpin Islam yang turut mendukung reformasi adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketua Nahdatul Ulama. Muncul juga nama Nurcholis Majid (Cak Nur), cendikiawan yang lahir dari kalangan santri. Juga muncul Amin Rais dari kalangan Muhamadiyah. Bertahun-tahun reformasi bergulir, kiprah umat Islam dalam panggung politik pun semakin diperhitungkan. Umat Islam mulai kembali memunculkan dirinya tanpa malu dan takut lagi menggunakan label Islam. Perpolitikan Islam selama reformasi juga berhasil menjadikan Pancasila bukan lagi sebagai satu-satunya asas. Partai-partai politik juga boleh menggunakan asas Islam.
Kemudian bermunculanlah berbagai partai politik dengan asas dan label Islam. Partai-partai politik yang berasaskan Islam, antara lain PKB, PKU, PNU, PBR, PKS, PKNU, dan lain-lain. Dalam kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan sekarang, sudah waktunya umat Islam untuk terjun dalam perjuangan politik yang lebih serius. Umat islam tidak boleh lagi bermain di wilayah pinggiran sejarah. Umat Islam harus menyiapkan diri untuk memunculkan pemimpin-pemimpin yang handal, cerdas, berahklak mulia, profesional, dan punya integritas diri yang tangguh. Umat Islam di Indonesia diharapkan tidak lagi termarginalisasi dalam panggung politik. Politik Islam harus mampu merepresentasikan idealismenya sebagai rahmatan lil alamin dan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi bangsa ini.
5.      Politik Islam Pascareformasi
Pascareformasi 1998 kontestasi antara kelompok Islam politik (Islamis) dan politik Islam (Islam substantif) terus terjadi dan berjalan secara dinamis. Islamis adalah sebuah kelompok dalam Islam yang menginginkan penerapan syariat Islam secara formal, meyakini Islam sebagai sebuah keyakinan hidup (belief system) yang sempurna, dan mencita-citakan berdirinya sebuah sistem Islam. Mereka ini terus berusaha menyebarkan pengaruhnya di Indonesia. Kelompok ini dalam banyak hal diwakili oleh Islam transnasional. Kelompok ini banyak beraktivitas dalam organisasi seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan kelompok tarbiyah yang banyak berinduk dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai politik Islam seperti Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan(PPP) jugadikelompokkan dalam kelompok ini. Hingga hari ini, dengan caranya masing-masing, mereka terus menyuarakan aspirasi politik Islam secara formal, baik di tingkat negara maupun peraturan- peraturan daerah.
Berbeda dengan aspirasi umat Islam mainstream di negara ini, kelompok yang disebut sebagai Islam Syariat ini banyak mengagendakan terwujudnya sistem Islam di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Haedar Nashir dalam Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, (MAARIF Institute & Mizan, 2013), mengkaji secara mendalam tentang geneologi, konsep, metode, dan cita-cita politik kelompok Islam ini. Di sisi lain, kelompok politik Islam substantif cenderung menyerukan pemahaman dan aspirasi politik Islam yang lebih moderat. Kelompok ini direpresentasikan oleh organisasi Islam moderat seperti Muhammadiyah dan NU. Kelompok ini juga diwakili oleh partai-partai yang berbasiskan organisasi Islam, tapi berdasarkan visi kebangsaan. Hingga hari ini organisasi muslim terbesar di Indonesia yang diwakili oleh Muhammadiyah dan NU tidak menyetujui penerapan syariat Islam secara formal di level negara.
Mereka juga menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia yang wajib dijaga oleh seluruh komponen bangsa. Islam substantif ini juga diwakili oleh sebagian aktivis Islam yang aktif di berbagai organisasi sekuler dan partai nasionalis. Tampaknya memang telah terjadi pergeseran di kalangan muslim Indonesia terkait aspirasi politiknya. Mereka berpikir bahwa aspirasi politik Islam bisa disalurkan lewat partai lain yang bervisi inklusif dan kebangsaan (Anies Baswedan, ‘Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory’, 2004). Jadi aspirasi politik Islam tidak identik dengan partai Islam.
Fenomena sebetulnya bukanlah hal yang baru, tapi sudah dimulai di Partai Golkar sejak era 1980-an ketika partai ini banyak merekrut para aktivis Islam sebagai pengurus dan kadernya. Pascareformasi fenomena ini semakin berkembang karena banyak pimpinan inti partai-partai nasionalis yang berasal dari kaum santri. PDI Perjuangan dan Demokrat bahkan membentuk sayap organisasi Islam.
Tidak berhenti pada partai Islam, mengenai partai Islam, berbagai survei terakhir yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network, Lembaga Survei Indonesia, dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa suara partai Islam diperkirakan akan semakin merosot ke bawah. Jika pemilu digelar pada hari ini, ada beberapa partai Islam yang kemungkinan besar tidak lolos electoral threshold. Itu disebabkan antara lain oleh performa partai Islam yang makin memudar akibat konflik internal, fenomena korupsi para pimpinannya, dan kekaburan visi dari partai Islam bila dibandingkan partai nasional lain.
Tidak heran jika suara partai Islam terus menurun dan tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan. Pada level calon pemimpin nasional pun, dalam banyak survei terakhir, tidak muncul nama pimpinan partai Islam yang popularitas dan elektabilitasnya tampil secara meyakinkan. Namun, diskusi tentang ekspresi politik umat Islam tentu tidak bisa hanya dibatasi pada soal partai Islam. Banyak aspek dalam politik Islam yang menarik untuk dikaji lebih mendalam lagi.
Riset yang dilakukan Sunny Tanuwidjaja menunjukkan bahwa fenomena Indonesia pascareformasi tampak jelas menunjukkan bahwa Islam telah dan terus memainkan posisi penting dalam politik Indonesia meskipun suara partai Islam terus turun secara signifikan (Political Islam and Islamic Parties in Indonesia: Critically Assessing the Evidence of Islam’s Political Decline, 2010). Itu misalnya tampak pada fenomena dukungan partai-partai nasionalis terhadap agenda perda-perda syariat di berbagai daerah. Juga pada dukungan partai-partai di parlemen terhadap undang-undang yang menjadi aspirasi umat Islam seperti RUU Sisdiknas Tahun 2003, RUU Pornografi dan Pornoaksi, RUU Zakat, dan sebagainya. Pada titik tertentu kebijakan politik luar negeri Indonesia yang mengampanyekan tentang Islam moderat juga bentuk lain dari aspirasi politik Islam pascareformasi.
Jika sebelumnya suara Islam nyaris absen dalam politik luar negeri Indonesia, tampaknya pergeseran geopolitik internasional dan aspirasi umat Islam di tingkat nasional turut memengaruhi politik luar negeri itu. Faktor para tokoh Islam yang berhasil mengajak para anggotanya untuk berpartisipasi mengawal transisi demokrasi di Indonesia hingga terkonsolidasi merupakan contoh lain dari ekspresi politik Islam.

Partai Politik Islam di Indonesia
Pada pemilu tahun 1955, sistem multipartai yang dijalankan terjadi pengelompokon idiologis partai-partai yang ada dapat dikelompokkan pada dua kelompok besar yaitu kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Hal ini terlihat pada terbelahnya pandangan terhadap Negara diantara partai-partai politik dalam Konstituante. Pada kelompok nasionalis sekuler terdapat Nasionalis yang tergabung dalam Partai Nasional Indonesia yang memiliki kekuatan sangat besar sebagai hasil pemilu 1955, Kelompok Komunis yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia, kelompok agama non-Islam yaitu Partai Katolik dan Parkindo serta kelompok yang lain dari kelompok fungsional serta kedaerahan. Sedangkan dari kalangan Islam, terdapat Partai Masyumi yang mendapat dukungan dari kalangan Islam modernis, Nahdatul Ulama (NU) dari kalangan Islam tradisional serta dari Partai Syarikat islam.
Partai politik Islam adalah partai politik yang secara tegas mencantumkan asanya adalah Islam. Pada pemilu tahun 1999, paling tidak ada delapan partai yang berasaskan islam, antara lain yang mendapatkan kursi di DPR pada saat ini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), Partai Nahdatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Ummat (PKU), Partai Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan lain-lain. Disamping partai yang berasaskan Islam.
Indonesia pada saat ini, ada juga partai yang bebasiskan massa Islam, yaitu antara lain Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional. Kedua partai yang terakhir ini massa pendukungnya terutama berasal dari para anggota dan simpatisan Ormas Islam Nahdatul Ulama dan Muahammadiyah, Walaupun tidak seluruhnya anggota kedua organisasi tersebut menjadi anggota kedua partai itu.
Issu politik yang paling menonjol yang dibawa oleh partai-partai Islam hasil pemilu tahun 1955 dan mereka mempunyai suara yang sama untuk itu, adalah persoalan idiologi yaitu Islam sebagai dasar negara, berhadapan dengan kelompok lain yang menginginkan Pancasila serta social ekonomi sebagai dasar Negara. Hal itu terjadi karena memang pada saat itu sedang diperdebatkan tentang Konstitusi Indonesia di Konstituante. Namun perdebatan mengenai dasar Negara tidak membuahkan hasil karena kekuatan Islam dan Nasionalis memiliki kekuatan yang seimbang sehingga tidak mencapai jumlah 2/3 yang dibutuhkan.
Pemilu kedua dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971, pada masa awal Orde Baru. Pemilu kedua ini diikuti oleh sepuluh Partai Politik diantaranya ada 4 partai Islam yaitu PSII memperoleh 10 kursi, NU 58 Kursi, Parmusi 26 kursi dan Partai Islam Perti mendapat 2 kursi. Jumlah total perolehan kursi Partai-partai islam adalah 96 kursi dari 362 kursi DPR yang diperebutkan atau sebesar 26,5 %. Sejak pemilu tahun 1977 sampai dengan tahun 1997 yaitu selama 20 tahun terjadi rasionalisasi partai politik oleh pemerintah Orde Baru yaitu hanya ada 3 partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan sebagai partai Islam, Golongan Karya serta Partai Demokrasi Indonesia. Partai Islam semakin pudar dengan perolehan suara yang terus menurun yaitu pada pemilu 1977 memperoleh kursi sebesar 27,5% dari 360 kursi DPR.
Pemilu sepanjang Orde Baru, dilaksanakan dibawah dominasi Golongan Karya yang selalu memperoleh kursi diatas 62 % sampai 75 % yang merupakan alat politk pemerintah Orde Baru. Karena itu perolehan suaru partai Islam pada masa ini bukan merupakan indikasi sebenarnya atas sikap pemilih yang dilakukan secara terbuka dan demokratis dalam pemilu. Orde Baru memanfaatkan seluruh kekuatan politiknya yaitu Golongan Karya, Birokrasi dan ABRI untuk mendukung dan mempertahakan kekuasaannya. Kemenangan Golkar didukung penuh oleh kekuatan birokrasi dan ABRI.
Lahirnya Masa Reformasi ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Soeharto pada taggal 21 Mei 1998, yang disebabkan oleh demonstrasi massa yang sangat besar yang menuntut perubahan dalam segala bidang termasuk bidang kebebasan politik, kebebasan pers serta pemberantasan Korupsi , Kolusi dan Nepotisme. Presiden B.J.Habibie yang menggantikan Soeharto pada masa itu membuka keran demokrasi ini dengan seluas-luasnya yaitu dengan membuka dan menjamin kebebasan pers serta membebaskan berdirinya partai-partai politik yang baru. Era baru ini disambut dengan gegap gempita dengan tuntutan perubahan-perubahan radikal dalam politik.
Kebijakan Presiden B.J.Habibie yang membebaskan berdirinya partai politi itu, disambut dengan lahirnya ratusan partai politik baru di Indonesia yaitu paling tidak 181 partai politik, yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pemilu yang dipercepat pada bulan Juni 1999. Dalam pemilu pertama masa reformasi itu, tidak seluruh partai politik yang terdaftar bisa ikut pemuli, karena setelah dilakukan verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum pemilu tersebut hanya diikuti oleh 48 partai Politik. Pemilu ini, dianggap sebagai pemilu paling demokratis yang dilasanakan oleh bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya setelah Pemilu pertama pada tahun 1955.
Ada banyak problema Islam dalam politik di Indonesia, hal ini ditandai oleh banyaknya partai-partai yang bermunculan di kalangan kelompok Islam, baik yang berdasarkan diri pada ideologi dan simbol keislaman maupun yang berbasis dukungan umat Islam. Sebagai contoh, dengan perkembangan situasi politik saat ini, KPU meloloskan10 partai berikut sebagai peserta pemilu 2014. Ada 4 parpol yang berbasiskan Islam, Yaitu :
1. Partai Amanat Nasional (PAN)
2. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
3. Partai Demokrat (PD)
4. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
5. Partai Golkar
6. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
7. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
8. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
9. Partai Nasional Demokrat (NasDem)
10. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam. Pluralisme politik Islam merupakan refleksi dari pluralisme masyarakat Islam. Kepemimpinan partai politik belum mampu memfungsikan partai sebagai media artikulasi kepentingan politik umat Islam. Tidak dipungkiri lagi politik Islam adalah suatu keharusan dalam sebuah komunitas Islam yang majemuk.
Islam tidak bisa dipandang sebelah mata. Di setiap masa dalam kondisi perpolitikan bangsa ini, Islam selalu punya pengaruh yang besar. Sejak bangsa ini belum bernama Indonesia, yaitu era berdirinya kerajaan-kerajaan hingga saat ini, pengaruh perpolitikan bangsa kita tidak lepas dari pengaruh umat Islam. Islam memiliki peran terhadap pembangunan di Indonesia.

B.     Definisi Organisasi Islam
Organisasi Islam merupakan sebuah organisasi yang bergerak (utamanya) di bidang agama, tetapi organsasi teresebut juga bergerak di bidang-bidang kehidupan yang lain seperti ekonomi, sosial, bahkan politik.
Unsur-insur yang harus ada di dalam Organisasi Islam:
a.       Adanya tempat
Tempat adalah suatu hal yang terkadang cukup menjadi kendala pada aktifitas dakwah, tidak adanya tempat yang lapang dan kondisi yang kondusif untuk melaksanakan kerja-kerja dakwah, menentukan suatu markas/tempat berkumpul para du’at juga dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang telah menjadikan rumah Arqam Ibn Abil Arqam sebagai pusat kegiatan dakwahnya. Di rumah itulah Rasulullah menyeru kepada manusia agar masuk Islam, sehingga banyak kaum yang hadir pada pertemuan-pertemuan dari Darul Arqam yang kemudian masuk Islam.
b.      Adanya pemimpin dan yang dipimpin
Salah satu rukun sukses sebuah organisasi.
Kriteria pemimpin yang baik:
-          Memiliki sifat fathonah
-          Amanah
-          Iltizam yang tinggi
-          Ash Shiddiq (jujur)
-          Rela berkorban yang tinggi
-          Sabar
Kriteria orang yang dipimpin:
-          Memiliki loyalitas yang tinggi kepada syariat, organisasi, dan pemimpin
-          Memiliki sifat yang istiqomah
-          Menghidupkan musyawarah
c.       Adanya tujuan yang jelas
Sebuah organisasi Islam mestilah memiliki tujuan yang jelas agar tidak salah langkah dan perjuangan yang sudah dilakukan tidak sia-sia.

C.    Organisasi Islam yang Pernah Ada di Indonesia
Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Asas perjuangannya ialah Islam dan kebangsaan Indonesia, sifatnya nonpolitik. Muhammadiyah bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, dan social menuju kepada tercapainya kebahagiaan lahir batin.
Tujuan Muhammadiyah ialah sebagai berikut:
1) Memajukan pendidikan dan pengajaran berdasarkan agama Islam.
2) Mengembangkan pengetahuan ilmu agama dan cara-cara hidup menurut agama Islam.

Untuk mencapai tujuan tersebut, usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
1)   Mendirikan sekolah-sekolah yang berdasarkan agama Islam
2)   Mendirikan poliklinik-poliklinik, rumah sakit, rumah yatim, dan masjid
3)   Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan.

Muhammadiyah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis. Itulah sebabnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran agama Islam secara modern dan memperteguh keyakinan tentang agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya. Kegiatan Muhammadiyah juga telah memperhatikan pendidikan wanita yang dinamakan Aisyiah, sedangkan untuk kepanduan disebut Hizbut Wathon ( HW ).
Muhammadiyah sebagai gerakan islam modernis sejak awal kelahirannya telah memilih jalan pergerakan di wilayah social-keagamaan yang memusatkan perhatian pada cita-cita pembentukan masyarakat (masyarakat islam atau masyarakat utama) ketimbang bergerak di lapangan politik dengan melibatkan diri dalam kancah perjuangan politik-protaktis (riel politics) yang memperebutkan kekuasaan dalam pemerintahan dan lebih jauh lagi mencita-citakan pembentukan sistem Negara. Dengan orientasi gerakan social-keagamaan itu Muhammadiyah berhasil melakukan transformasi social ke berbagai struktur dan proses kehidupan masyarakat secara langsung, operasional, dan relative dapat diterima oleh banyak kalangan masyarakat. Melalui peranannya ini, di belakang hari Muhammadiyah telah menghadirkan ideology gerakan islam yang bercorak cultural dan bersifat modern yang melakukan perubahan-perubahan social dari kehidupan yang bercorak agraris-pedesaan keindustrial-perkotaan yang waktu itu merupakan fenomena baru dalam gerakan islam pada awal abad ke-20.
Dapat diakui saat ini bahwa persyarikatan Muhammadiyah adalah suatu organisasi social kemasyarakatan islam modern yang terbesar di seluruh dunia islam. Di samping itu juga tidak dapat di sangkal bahwa keberhasilan kiprah amaliah Muhammadiyah di bidang pendidikan dan pelayanan social kepada masyarakat sangat besar, dengan kata lain Muhammadiyah merupakan organisasi yang luar biasa. Dalam usianya yang lebih dari 80 tahun, Muhammadiyah telah memiliki lebih dari 13.000 sekolah dari jenjang pendidikan TK, SD, SLTP sampai ke SMU, juga Madrasah Diniyah dan Madrasah Muallimin/Muallimat serta pondok pesantren. Belum terhitung lebih dari 60 perguruan tinggi dan akademik tersebar di seeluruh nusantara.
Dalam bidang pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, Muhammadiyah telah memiliki lebih dari 400 unit usaha yang berupa rumah sakit umum, poliklinik, BKIA, panti asuhan dan yatim piatu, dan pos santunan social serta lebih dari 3000 masjid. Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa prestasi Muhammadiyah yang gemilang itu dicapai melalui pendekatan terbuka, ramah, dan bersahabat dengan semua pihak, dan menempuh jalan yang dibenarkan oleh undang-undang yang berlaku serta tidak bersikap tertutup dan ekslusif. Salah satu kunci utama dari keberhasilan Muhammadiyah adalah sikapnya yang steady dan konsisten dengan maksud pendirian persyarikatan.
Muhammadiyah pada masa orde baru itu telah mengikrarkan diri untuk tidak mengulangi kesalahan politik yang sama seperti yang dilakukan pada masa Orde Lama dengan terlibat dalam Masyumi selama lebih dari sepuluh tahun. Melalui Tanwir Ponorogo dan Muktamar ke-38 di Ujung Pandang pada 1971, organisasi ini menegaskan pendirian politiknya bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dan bukan merupakan bagian dari partai politik tertentu. Sejak itulah Muhammadiyah dari tingkat pusat hingga ranting, memberikan keleluasaan kepada anggotanya secara individu untuk menyalurkan aspirasi politik kepada partai politik yang ada sepanjang tidak menyimpang dari garis perjuangan Muhammadiyah.
Nahdhatul Ulama (NU)
Pada mulanya NU merupakan organisasi social keagamaan dari kelompok islam tradisionalis. NU didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Pendirian NU ini sebagai usaha menahan perkembangan paham pembaharu islam di Indonesia. Pada waktu itu paham pembaharuan masuk ke Indonesia yang di bawa oleh para jama’ah haji yang pulang ke Indonesia. Seruan yang dikumandangkan adalah perlunya kembali kepada Al-qur’an dan hadits nabi sebagai sumber utama ajaran Islam. Masih terbukanya pintu ijtihad dan melarang praktik-praktik yang tidak sesuai dengan islam berupa bid’ah dan khurafat.
Dengan tumbuhnya paham pembaharuan islam ini, kelompok islam tradisionalis berusaha menjaga paham yang selama ini dilaksanakan dengan membentuk organisasi, yang dinamakan Nahdhatul Ulama (kebangkitan ulama). Organisasi ini didirikan dimaksudkan juga dalam rangka mempertahankan ajaran-ajaran 4 mazhab ( Hambali, Hanafi, Syafi’I, dan Mhaliki ), terutama mazhab Syafi’i. Pendiri NU adalah KH. Hasyim As’ary, dan KH. Wachab Hasbullah.
NU pada masa pergerakan terus berkembang dan tetap menjadi organisasi social keagamaan dan pendidikan. Sebagai pusat dari pergerakan organisasi ini adalah pesantren-pesantren dengan Kyai sebagai ujung tombaknya. Meskipun bergerak dalam bidang social keagamaan dan pendidikan, NU juga pernah bergabung dalam GAPI dan menyerukan jihad untuk melawan penjajahan.
Ketika Indonesia merdeka, NU merupakan salah satu pilar partai politik Masyumi. Bersama-sama dengan Muhammadiyah, organisasi Islam pembaharu, NU mendirikan partai politik Masyumi. Partai ini dimaksudkan sebagai satu-satunya partai Islam di Indonesia sebagai alat perjuangan dan aspirasi umat Islam Indonesia. Namun dalam perkembangan kemudian, karena ada salah paham dan pandangan yang berbeda denagan unsure-unsur dalam tubuh Masyumi. Dalam Muktamar yang diselenggarakan di Palembang tahun 1952, NU menyatakan sebagai partai politik yang berdiri sendiri dan tidak lagi menjadi bagian dari Masyumi.
Dengan keluarnya NU dari Masyumi maka orang Masyumi yang duduk dalam cabinet dari unsure Nu tidak lagi atas nama partai Masyumi tetapi atas nama partai NU. Dengan demikian karena NU memiliki massa yang banyak, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, kekuatan NU menjadi sangat menentukan dalam setiap menyusun cabinet. Oleh karena itu, setiap penyusunan kabinet NU selalu menjadi partai politik yang harus dilibatkan dalam koaliisi pembentukan kabinet. Dengan kata lain, NU merupakan unsur dalam koalisi pembentukan cabinet. Dalam konteks itu maka bagi siapa saja, baik itu kalangan nasionalis (PNI) atau Masyumi harus mengajak NU dalam koalisi membentuk cabinet.
  
Hubungan Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama
Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah dua organisasi “terbesar” di Indonesia. Kata “terbesar”sengaja diberi tanda kutip karena awalan “ter” seharusnya menunjuk pada satu objek, bahkan dua. Keduanya disebut “terbesar” untuk menunjukkan betapa sulitnya menentukan mana yang satu di antara keduanya yang lebih besar. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang tidak bisa di ukur secara matematis.
Satu hal yang tidak bisa dimungkiri bahwa jika NU memiliki puluhan atau bahkan ratusan pesantren maka muhammadiyah memiliki lembaga pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi yang kurang lebih sama jumlahnya. Jika tokoh-tokoh NU memiliki puluhan LSM, Muhammadiyah pun memiliki lembaga-lembaga sosial yang tidak kalah, baik secara kualitas maupun kuantitas, dengan LSM NU. Alhasil, NU dan Muhammadiyah adalah dua aset bangsa yang tak ternilai harganya. Mengingat begitu signifikannya peran kedua organisasi ini, banyak kalangan berpendapat, jika di antara keduanya tidak ada masalah maka selesailah, minimal setengah dari persoalan bangsa ini. 
Sebaliknya, jika keduanya bertikai maka akan runyamlah nasib bangsa ini. Karenanya program mendamaikan dan atau mempertemukan keduanya terasa begitu urgen. Namun, sejauh mana upaya ini mungkin di lakukan akan sangat tergantung pada 2 faktor, pertama menyangkut latar belakang kelahiran kedua organisasi ini yang secara langsung terkait dengan paham keagaman yang diyakini dan diinterpretasikan oleh keduanya. Kedua, watak politik antara keduanya yang juga sedikit banyak dipengaruhi paham keagaman yang diyakini dan diinterpretasikan oleh keduanya. 

  1. Kontribusi yang Telah Diberikan Oleh Umat Islam (Organisasi Islam) terhadap Aspek Politik di Indonesia
Dewasa ini turut menuntun arah politik negara Indonesia. Maraknya kehidupan politik Islam ini menunjukkan suatu fenomena yang dapat diberi label repolitisasi Islam. Politik Islam ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam.
Salah satu isu politik yang sering menempatkan kelompok Islam pada posisi dilematis yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian Islam vis a vis negara yang berdasarkan Pancasila. Walaupun umat Islam mempunyai andil yang sangat besar dalam menegakkan negara melalui perjuangan yang panjang dalam melawan penjajahan dan menegakkan kemerdekaan, namun untuk mengisi negara merdeka kelompok Islam tidak selalu pada posisi yang menentukan.
Peran kelompok Islam, baik tokoh Islam maupun mahasiswa Islam dalam mendorong gerakan reformasi sangat besar. Semangat politik yang tinggi yang tidak disertai oleh pengetahuan yang luas dan mendalam tentang perkembangan politik sering mengakibatkan terabainya penguatan taktik dan strategi politik. Dua hal yang sangat diperlukan dalam politik praktis dan permainan politik. Dilema politik Islam berpangkal pada masih adanya problem mendasar dalam kehidupan politik umat Islam.

Kontribusi Umat Islam dalam Perpolitikan Nasional

Kontribusi umat Islam dalam perpolitikan nasional tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena di setiap masa dalam kondisi perpolitikan bangsa ini, Islam selalu punya pengaruh yang besar. Sejak bangsa ini belum bernama Indonesia, yaitu era berdirinya kerajaan-kerajaan hingga saat ini, pengaruh perpolitikan bangsa kita tidak lepas dari pengaruh umat Islam. Salah satu penyebabnya adalah karena umat Islam menjadi penduduk mayoritas bangsa ini.
Selain itu, dalam ajaran Islam sangat dianjurkan agar penganutnya senantiasa memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi orang banyak, bangsa, bahkan dunia. Penguasaan wilayah politik menjadi sarana penting bagi umat Islam agar bisa memberikan kontribusi bagi bangsa ini.
 
 

BAB III
PENUTUP

  1. Simpulan
Jadi, dari pemaparan materi di bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa relasi Islam dan politik di Indonesia senantiasa menarik untuk diperbincangkan dari dulu hingga sekarang. Selain karena umat Islam menjadi warga mayoritas di negeri ini, juga karena aspirasi politik umat Islam di Indonesia tidaklah bersifat homogen.
Aspirasi politik umat Islam di Indonesia sangat heterogen dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Sejak era sebelum kemerdekaan hingga hari ini aspirasi politik umat Islam di pentas politik nasional tidaklah tunggal dan saling berkontestasi satu kelompok dengan lainnya. Sebagai penduduk mayoritas di negeri ini, sebagian kaum muslim mendesak bahwa Islam haruslah berpartisipasi secara aktif dan mendapatkan keistimewaan.

  1. Saran
Berdasarkan pemaparan materi yang telah kami sampaikan, kami memiliki saran sebagai berikut:
a.       Sebagai umat Islam yang berbudi pekerti luhur, hendaknya kita selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk diri sendiri maupun orang lain, sehingga kesejahteraan umat tetap terjaga.
b.      Senantiasa menjaga Ukhuwah Islamiyah agar kesatuan dan persatuan di bangsa ini tetap terjaga.
c.       Menjadi sosok-sosok dalam organisasi Islam yang senantiasa menjaga kerukunan bersama, bukan menjadi pelopor keretakan umat.
d.      Mewaspadai organisasi-organisasi yang mengatasnamakan Islam yang dalam kenyataannya organisasi tersebut memiliki maksud dan tujuan yang tidak sejalan dengan aqidah agama Islam.
e.       Menyadari bahwa perbedaan akan selalu terjadi dalam suatu tatanan  masyarakat. Jadi, sebagai umat Islam yang baik, maka menyikapi hal tersebut dengan cara yang arif bijaksana, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam Al-Qur’an dan hadits disebutkan:

“Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
 “Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (Surat At-Taubah Ayat 6)
Janganlah kamu berselisih, karena kamu akan menjadi lemah dan hilang kewibawaan kamu.” (QS. Al-Anfal: 46)
 Janganlah kamu seperti orang-orang yang musyrik, yaitu mereka mencerai-beraikan agamanya dan bergolong-golongan. Dan setiap golongan berbangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Rum: 31-32)
Allah berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Al Hujurat: 10)
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ. ادْخُلُوهَا بِسَلاَمٍ آمِنِينَ. َنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ إِخْوَاناً عَلَى سُرُرٍ مُّتَقَابِلِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir).  (Dikatakan kepada mereka): “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman ” . Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS Al Hijr: 45-47)
Sabda Rasulullah SAW., "Sesuatu paling berat yang diletakkan pada timbangan (al-mizan) adalah ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang baik. (Ibid )"

 
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. Daud, SH. 1986. Islam dan Hubungannya dengan Sistem Sosial, Hukum, dan Politik. CV Wirabuana: Jakarta
Jurdi, Syarifudin. 2008. Pemikiran Politik Islam di Indonesia. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
http://e-dokumen.kemenag.go.id
hamdanzoelva.wordpress.com
cahyodwi-dc.blogspot.com
ninkrukhster.blogspot.com
obrolanpolitik.blogspot.com
http://eidariesky.wordpress.com
abar-cule.blogspot.com





Tidak ada komentar:

Posting Komentar